Senin, 18 Maret 2013

PESAWAT UAP


Di Indonesia, Ketel Uap ( Boiler )  banyak di pakai di perusahaan-perusahaan antara lain pada ; pabrik pengolahan kelapa sawit, pabrik gula, pabrik pulp, pabrik ban, pabrik minyak makan, pabrik minuman botol, pabrik mie instan, rumah sakit, hotel dll.  Pemanfaatan Ketel Uap demikian luas di Indonesia antara lain di sektor industri, pariwisata dan pelayanan kesehatan, namun pada pemakaiannya mengandung potensi bahaya ( high risk ) apabila tidak memenuhi standar atau syarat-syarat safety yang berlaku.

Menurut Stoom Ordonantie ( Undang-undang Uap 1930 ) pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa “ Ketel  Uap ialah suatu Pesawat dibuat guna menghasilkan uap atau stoom yang  dipergunakan diluar pesawatnya “.   Pada prinsipnya, semua Ketel Uap didalamnya terdapat air yang dipanaskan oleh pelat dan atau pipa Ketel Uap dimana pelat dan atau pipa tersebut dipanaskan oleh gas panas hasil pembakaran bahan bakar sehingga air tersebut mendidih dan berubah menjadi uap ( steam ) yang tekanannya melebihi tekanan udara atmosfer.

Bahan bakar yang dipakai ada 3 jenis, yaitu ; 1) ada yang menggunakan bahan bakar padat antara lain batu bara, cangkang, serabut kelapa sawit dan atau kayu, 2) bahan bakar cair yaitu solar, dan 3) bahan bakar gas yaitu Liquid Natural Gas ( LNG ).

Apabila uap didalam drum boiler mencapai tekanan tertentu maka suhu uap tersebut akan memiliki temperatur tertentu pula.  Sebagai contoh;  Ketel Uap yang memiliki tekanan kerja 10 Kg/Cm2  maka temperatur uap dalam drum Ketel Uap sekitar 1790 C,  jika tekanan kerjanya mencapai 20 Kg/Cm2 maka temperatur uap dalam drum Ketel Uap yang bersangkutan sekitar 2130 C, kemudian jika tekanan uap dalam drum Ketel Uap mencapai 40 Kg/Cm2 maka temperatur uap  dalam drum Ketel Uap tersebut sekitar 2500 C.

Ketel Uap  yang dipakai di pabrik pulp pada umumnya bertekanan kerja sekitar 100 Kg/cm2, pada pabrik gula dan pengolahan kelapa sawit bertekanan kerja sekitar 20 Kg/Cm2, dan Ketel uap pada pabrik makanan minuman, pabrik minyak makan, pabrik ban , hotel dan rumah sakit pada umumnya bertekanan kerja sekitar 10 Kg/Cm2.  Dengan tekanan dan temperatur uap yang demikian tinggi didalam Ketel Uap, maka berarti pada setiap pengoperasian Ketel Uap terdapat potensi bahaya yang apabila Ketel Uap tersebut pecah akan dapat mengakibatkan kerusakan bangunan perusahaan dan korban jiwa.

Peristiwa meledaknya suatu Ketel Uap telah terjadi beberapa kali di Indonesia, antara lain Ketel Uap  bertekanan kerja 3 Kg/Cm2 pada salah satu pabrik tahu di wilayah Binjai - Sumatera Utara yang mengakibatkan seorang tewas ditempat dan beberapa orang lainnya luka-luka serta bangunan pabrik runtuh,  Ketel Uap bertekanan kerja 3 Kg/Cm2 pada salah satu Pabrik Mihuen di Deli Serdang - Sumatera Utara yang mengakibatkan seorang pekerja luka-luka, beberapa rumah penduduk sekitarnya rusak serta bangunan pabrik runtuh. Kedua unit Ketel Uap tersebut diatas dioperasikan dengan tanpa memiliki Akte Izin dari Pemerintah,  pekerja yang mengoperasikannya belum terlatih terbukti belum memiliki Sertifkat operator Pesawat Uap dari Pemerintah, yang berarti pemakaiannya tidak mematuhi Peraturan Perundang-undangan di bidang K3 yang berlaku. Berhubung akibat dari meledaknya suatu Ketel Uap demikian mengerikan dan merugikan beberapa pihak maka untuk  pemakaian setiap Ketel Uap di Indonesia pemakai dan operator Ketel Uap yang bersangkutan senantiasa harus mematuhi Peraturan Perundang-undangan di bidang  K3  yang berlaku yaitu ; 1) Stoom Ordonantie 1930, 2) Stoom Veroordening 1930, 3) Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, 4) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/Men/1982 tentang Kualifikasi Juru Las, 5) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 01/Men/1988 Tentang Kualifikasi dan syarat-syarat Operator Pesawat Uap, 6) Surat-surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I yang terkait dengan pengawasan Norma K3 Pesawat Uap di Indonesia.

II.  KUNCI PENTING PEMAKAIAN KETEL UAP SECARA AMAN

Telah dijelaskan diatas betapa pentingnya suatu ketel Uap pada perusahaan-perusahaan tertentu, tetapi juga betapa besar potensi bahaya yang terkandung didalam pemakaian Ketel Uap tersebut.  Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan K3 yang berlaku di Indonesia, maka untuk pemakaian suatu Boiler pemakai perlu memperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut :
  1. Dalam hal pengadaan
  2. Bagi Pengusaha yang akan membeli Ketel Uap  yang akan dipakai di perusahaannya, pilihlah Ketel Uap yang pembuatannya memenuhi prosedur yang berlaku.  Sebagai contoh, misalkan akan membeli Ketel Uap pipa api ( Fire Tube Boiler ) baru buatan dalam negeri, maka sangat perlu diperhatikan, apakah Boiler tersebut memiliki dokumen meliputi ; 1) Gambar konstruksi, 2) Gambar detail sambungan, 3) Sertifikat bahan, 4) Perhitungan kekuatan konstruksi, 5) Surat keterangan hasil Radiography Test dan atau Ultrasonic Test  sambungan las dan 6) Laporan pengawasan pembuatan pesawat uap yang ditandatangani engineer perusahaan pembuat boiler yang bersangkutan dan Pengawas Ketenagakerjaan spesialis Pesawat Uap.

  3.  Dalam hal pengoperasian

    1. Pemakai  jangan mulai memakainya sebelum dilakukan pemeriksaan dan pengujian pertama oleh Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( AK3) spesialis Pesawat Uap dari Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PJK3)  yang memiliki Surat Keputusan Penunjukan (SKP) dari Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenakertrans R.I atau Pengawas Ketenagakerjaan spesialis Pesawat Uap yang kemudian dinyatakan telah memenuhi syarat K3 olehnya yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akte Izin Ketel Uap tersebut dari Dinas Tenaga Kerja  / Instansi yang berwenang di daerah yang bersangkutan.  Menurut peraturan yang berlaku, khusus untuk Ketel Uap yang direntalkan,  Akte Izinnya  diterbitkan oleh Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenakertrans R.I.
    2. Air umpan  Ketel Uap  (  Feed Water Boiler  )  yang  digunakan harus selalu memenuhi standar dengan melalui proses water treatment. Untuk mengetahui kepastian memenuhi standar atau tidaknya air umpan tersebut maka pemakai perlu mengujikannya ke Laboratotium penguji air yang dinilai mampu dan hasil ujinya akurat. Selanjutnya hasil uji air umpan bandingkan dengan standar yang berlaku antara lain mengenai ; pH, kesadahan total, oksigen dan lain-lain dari feed water boiler yang akan digunakan.
    3. Pekerja yang mengoperasikannya harus yang sudah terlatih dan berpengalaman yang dibuktikan dengan Sertifikat operator Ketel Uap yang diterbitkan oleh Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenakertrans R.I.
      Untuk Ketel Uap berkapasitas 10 Ton/jam atau lebih, pekerja yang mengoperasikannya harus bersertifikat operator Pesawat Uap kelas I, sedangkan untuk Boiler berkapasitas kurang dari 10 Ton/jam , pekerja yang mengoperasikannya harus bersertifkikat operator Pesawat Uap kelas II.

    4. Ketel Uap yang sedang operasi tidak boleh ditinggalkan oleh operator yang bertugas melayaninya. Artinya Ketel Uap yang sedang beroperasi harus selalu ada operator Pesawat Uap  yang melayani di ruang Ketel Uap yang bersangkutan.

    5. Setelah beroperasi beberapa lama, maka pemakai wajib memeriksakan Ketel Uapnya secara berkala kepada AK3 spesialis Pesawat Uap dari PJK3 yang memiliki SKP dari Dirjen Pembinaan Pengawasan Kemenakertrans R.I  atau kepada Pengawas Ketenagakerjaan spesialis Pesawat Uap. Untuk Ketel uap yang dipakai di kapal laut perusahaan pelayaran pemeriksaan berkalanya minimal sekal tiap tahun, untuk Ketel Uap yang dipakai di darat pemeriksaan berkalanya minimal sekali tiap 2 tahun, untuk Ketel Lokomotif pemeriksaan berkalanya minimal sekali tiap 3 tahun.

    6. Untuk  melakukan perbaikan, penggantian atau perobahan   kostruksi dan atau perlengkapan Ketel Uap, pemakai wajib melaporkan  terlebih dahulu ke Dinas Tenaga Kerja setempat, sehingga pemeriksaan khusus dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya dan pemakai memperoleh petunjuk-petunjuk antara lain teknik pengerjaannya, standar bahan, pengelasan dan sebagainya yang harus dipenuhi.

    7. Agar kerak ketel ( scale ) yang terjadi di dalam Ketel Uap tidak semakin tebal dan keras yang dapat mengakibatkan over heating  ( pemanasan lebih ), maka sebaiknya Ketel Uap secara teratur dilakukan cleaning dengan cara manual, mekanis maupun chemis oleh orang yang ahlinya.  Jika di dalam Ketel Uap bebasscale maka akan berdampak positip terhadap efisienci dan life time Ketel Uap yang bersangkutan.

Kamis, 28 Februari 2013

Cara Hitung Lembur Karyawan


Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :

  • Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :
    • untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam;
    • untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 (dua) kali upah sejam.
  • Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka :
    • perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.
    • apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
  • Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.
Dasar perhitungan upah lembur
  • Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan. Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.
  • Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
  • Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah minimum setempat.
  • Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
  • Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.

Selasa, 26 Februari 2013

Tips & Trik Menghadapi Pengawas Ketenagakerjaan


Tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan pengawas ketenagakerjaan selama ini menjadi “momok” bagi beberapa perusahaan, karena “mereka” rutin melakukan inspeksi ketenagakerjaan. “Rasa” paling benar, paling kuasa, paling bisa menyalahkan, paling bisa memutuskan, dan paling-paling yang lain, tidak bisa lepas dari keberadaannya, dan menjadi kesan tersendiri bagi pelaku usaha.
Tentu kesan tersebut hanya berlaku bagi pelaku usaha yang –maaf— masih belum mempunyai bekal / pengetahuan yang cukup ikhwal ketentuan ketenagakerjaan serta fungsi, kewenangan dan tata cara pengawasan. Sebaliknya, bagi pelaku usaha yang telah mempunyai pemahaman atas “aturan main” yang cukup, kehadiran tim pengawas bukan merupakan persoalan serius.

I.             Dasar Hukum Pengawas Ketenagakerjaan
Dasar adanya pengawas ketenagakerjaan adalah UU No 13 Tahun 2003, Pasal 176 s/d 181. Selain UU No 13 Tahun 2003, ada beberapa ketentuan sebelum dan sesudah lahirnya UU No. 13 Tahun 2003, yang dapat dilihat di Kumpulan Ketentuan Ketenagakerjaan.

II.           Kewenangan Pengawas Ketenagakerjaan
Berbicara mengenai kewenangan (pokok) pengawas ketenagakerjaan, mari kita simak ketentuan dalam UU No 13 Tahun 2003, Pasal 182 ayat 2, bahwa kewenangan pengawas selaku pegawai penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ditentukan sebagai berikut:
a.    melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c.    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d.    melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e.    melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f.     meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g.    menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.

III.            Obyek Pengawasan
Mengenai obyek pengawasan, masing-masing daerah mempunyai ciri khas atau model yang berbeda-beda. Namun setidaknya, berikut yang –umumnya—menjadi obyek pengawasan termasuk dasar hukumnya. Namun jangan kaget, ada dokumen yang diatur pada ketentuan yang ”Jadul” banget, masih saja dijadikan obyek penelitian. Kebanyakan perusahaan nggak “NGEH” jika ada ketentuan tersebut, sehingga mereka lengah, dan hal-hal ini menjadi peluang empuk oknum petugas pengawas untuk “menjerat” bahwa perusahaan bersalah.
Ada lagi, beberapa ketentuan yang sudah dicabut dengan ketentuan yang baru, masih saja dipertahankan untuk menjadi obyek inspeksi. Jadi, pada kondisi seperti ini, perusahaan (terutama HR) harus jeli dan tetap “fight” bahwa tidak boleh obyek pengawasan pada sesuatu yang tidak up to dateDuhh… sia-sia banget kan…?
Ini dia dokumen yang biasa menjadi obyek pengawasan, berikut dasar hukumnya;
No
Dokumen
Dasar
1
Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan
UU No 7 Tahun 1981
2
Wajib Lapor Pelaksanaan Fasilitas Kesejahteraan (berlaku di DKI Jakarta)
Perda No 7 Tahun 1989
3
Daftar Upah/Gaji Karyawan Untuk 3 (tiga) Bulan Terakhir
Permen No 06/MEN/1990
4
Bukti Upah Lembur Karyawan untuk 3 (tiga) Bulan Terakhir
Kepmen No 72/MEN/1984
5
Bukti Pembayaran Iuran Program Jamsostek Bulan Terakhir
UU No 3 Tahun 1992 jo PP No 14 Tahun 1993
6
Peraturan Perusahaan
Permen No 02/MEN/1978
7
Surat Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA)
UU No 3 Tahun 1958
8
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)
 
9
Laporan Keberadaan Tenaga Kerja Asing
 
10
Daftar Keluarga Karyawan
 
11
Daftar Absensi dan Cuti Tahunan Karyawan
PP No 21 Tahun 1954
12
Akta Pendirian Perusahaan/SIUP (Surat Keterangan Domisili)
 
13
Struktur Organisasi Perusahaan
 
14
Surat Izin Kerja Malam Wanita
Stbl No 647/1925Jo Stbl No 82 /1948; Jo SK Dirjen Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja No 558 / DD.II / 72-8 / DPWPT / 72 Tanggal 17 Mei 1972
15
Surat Ijin Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat/Ijin Kerja Lembur
UU No 1 Tahun 1951 Jo PP No 4/1951, Jo Kepmen No 608/MEN/1989
16
Bukti Pemeriksaan Kesehatan Karyawan (Secara Awal maupun Berkala)
UU No 1 Tahun 1970 Jo Permen No 2/MEN/1980
17
Buku Akte Pengawasan Ketenagakerjaan
Permen No 03/MEN/1984
18
Ijin Penggunaan, Pemakaian Bejana Tekan (compressor), Ketel Uap, Pesawat Angkat/Angkut, Instalasi Penyalur Petir serta Peralatan Lainnya yang Berhubungan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Perusahaan
UU No 1 Tahun 1970
19
Surat Pengesahan Gambar Instalasi Listrik dari Kantor Depnaker
UU No 1 Tahun 1970 Jo Permen No 04/Men/1988
20
SK Pembentukan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Perusahaan (P2K3)
UU No 1 Tahun 1970 jo Permen No 04/MEN/1987
21
SK Pembentukan Serikat Pekerja di Perusahaan
UU No 21 Tahun 2000
22
AKDHK
(berlaku di DKI Jakarta)
Perda No 7 Tahun 1989 jo SK Gubernur Prop DKI Jakarta No 2 Tahun 1990

IV.              10 (Sepuluh) Tips and Trik
Beberapa tips dan trik ketika menghadapi pegawai pengawas ketenagakerjaan (wasnaker);
1.    Tetap mengakui dan menghormati bahwa wasnaker adalah pejabat negara yang kedudukannya diatur dan diakui undang-undang dan ketentuan pelaksanaannya. Karena merupakan pejabat negara gaji, tunjangan dan manfaat lain-lain dibayar oleh negara yang bersumber dari (salah satunya) pajak yang dibayarkan perusahaan dan karyawan. 
2.    Berpikir positif dengan menempatkan wasnaker sebagai partner dalam menegakkan ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku. Jangan sekali-kali memposisikan mereka dalam posisi vis a vis yang berhadap-hadapan. Namun, jika pada saat datang oknum wasnaker yang menghendaki demikian (berhadap-hadapan), apa boleh buat, bahasa jalanan, siapa jual harus dibeli, perlu dipertimbangkan untuk dipraktekkan.
3.    Jangan memaksakan diri untuk ”serta merta” menerima dan melayani wasnaker yang datang (jangan pula mengabaikan kehadirannya lho…..). Jika memang belum memungkinkan, bicarakan dan re-schedule kapan waktu yang tepat untuk pelaksanaan inspeksi agar lebih efektif.
Biasanya ”mereka” memaksa agar segala sesuatu disiapkan dan ”beres” pada saat “mereka” datang. Bahkan dengan “sedikit mengancam” jika perusahaan menghalang-halangi pelaksanaan pengawasan dianggap melakukan pidana ketenagakerjaan, dll. Jika seperti ini, sampaikan jika semua menggunakan bahasa kekuasaan, kasihan (perusahaan) yang tidak punya kuasa dong …. Artinya, tidak perlu terburu-buru menggunakan bahasa kekuasaan.
4.    Ajak tim wasnaker untuk memahami dan menyamakan visi bersama dalam pembangunan ketenagakerjaan. Bahwa kehadirannya seharusnya bisa berpartisipasi mewujudkan hubungan industrial yang damai, sejuk dan harmonis.
Jika sebelum kehadiran wasnaker, hubungan antara karyawan (atau serikat pekerja) dengan perusahaan sudah cukup baik dan harmonis, tetapi ada “perubahan” setelah kehadiran wasnaker, sehingga kondisi menjadi saling curiga, memancing keresahan dan kegelisahan karyawan dan lain-lain, maka wasnaker mempunyai tanggung jawab moral atas “perbuatan”nya. Ingat, perbuatan tersebut tidak sejalan dengan visi pembangunan ketenagakerjaan, tetapi bertentangan. Mengapa? Apa yang dilakukannya tersebut berpotensi menimbulkan masalah ketenagakerjaan baru, setidaknya dapat memancing perselisihan industrial.
5.    Perusahaan harus meyakini bahwa apa yang selama ini dilakukan adalah benar. Masa iya, ada yang bangga melakukan sesuatu yang salah. Untuk apa meyakini ini? Agar kita mati-matian (semaksimal mungkin) membela diri ketika “dipersalahkan”. Artinya jangan begitu mudah menerima “salah”. Sebaliknya, harus berani mempertahankan bahwa apa yang selama ini perusahaan lakukan adalah benar. 
6.    Bahwa wasnaker bukan-lah full power bodyBukan lembaga yang maha kuasa. Lembaga ini hanya bertugas memeriksa. Bukan mengadili. Bukan menyatakan salah atau benar. Bukan melaksanakan putusan salah atau benar. Mengapa ini perlu diketahui? Tidak sedikit, wasnaker yang mem-vonis perusahaan ”salah” atau melanggar ketentuan ketenagakerjaan, bahkan menjatuhkan sanksi, dan bahkan pula ”dia-pun” menjalankan putusan tersebut alias sebagai eksekutornya. Apakah diberikan kewenangan sejauh ini? TIDAK! Hanya memeriksa dan mengawasi, TITIK!
7.    Pahami bahwa selama melaksanakan fungsi pengawasan, pegawai wasnaker ada batasan kewenangan. Mereka juga dilarang melampaui kewenangan yang ditentukan serta dilarang menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power). Hal ini senada dengan ketentuan UU No 13 Tahun 2003, Pasal 176 b (uu-13-2003-ketenagakerjaan-penjelasan).
8.    Bahwa jangan buru-buru melaksanakan apa yang dikatakan petugas wasnaker. Jika jeli, apa yang dikatakan kadang tidak berdasar atau setidaknya tidak ada dasar yang yang jelas. Jadi yang disampaikan kadang hanya berupa wacana atau penafsiran. Pada konsisi ini, harus diyakini bahwa Opini adalah opini. Pendapat adalah pendapat. Bukan sebuah dasar hukum yang mengikat dan harus dilaksanakan. Apa yang diminta harus dibuat dalam surat tertulis, biasanya berupa nota pemeriksaan. Jika terjadi hal ini, silakan gunakan proses jawab – jinawab. Jadi, perusahaan menjawab / menanggapi apa yang dipermasalahkan pegawai wasnaker, dengan tembusan ke Ditjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Depnakertrans RI (http://www.nakertrans.go.id/unit.html,9,org).
9.    Semua mekanisme pengawasan ada tata caranya (hukum formal). Jadi, meskipun “salah” (semoga saja tidak), wasnaker tidak bisa serta merta menjatuhkan sanksi, bahkan sampai melaksanakan sanksi.
Sebagai ilustrasi, misalnya sesorang mengaku membunuh, maka seorang hakim-pun tidak bisa serta merta memenjarakan pelaku. Ada mekanisme penyidikan yang dilakukan polisi. Ada mekanisme penuntutan yang dilakukan jaksa. Ada mekanisme pemeriksaan dan memutus perkara (vonis) oleh hakim /pengadilan. Dan pelaksanaan sanksi oleh sang eksekutor. Bahkan, si pelaku yang keberatan bisa menempuh berbagai pilihan upaya hukum, bahkan sampai upaya hukum luar biasa.
Apa maksudnya? Tidak ada yang serta merta, termasuk dalam wasnaker. Jadi putusan salah tidak serta merta dilakukan pegawai wasnaker. Jadi jika perusahaan ”dipaksa” Tentu perusahaan tidak boleh tinggal diam karena ada indikasi penyalahagunaan wewenang.
10.  Jika perusahaan tidak ada sumber daya yang memadai, atau resources-nya kurang capable, silakan mempertimbangkan untuk menggunakan jasa pihak ketiga untuk menangani fungsi pemeriksaan oleh tim wasnaker. Bisa menghubungi kantor hukum atau jasa konsultasi hukum dan manajemen yang terpercaya dan dipandang mampu melaksanakan tugas tersebut. Beberapa perusahaan yang menyediakan jasa ini misalnya www.selnajaya.com. Jadi perusahaan bisa membuat surat kuasa untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan wasnaker.

Senin, 25 Februari 2013

PENGERTIAN K3

1. Pengertian K3:

a. K3  filosofi:
Suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat adil dan makmur.

b. K3  Keilmuan:
Ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

c. K3  Praktis:
Upaya perlindungan agar tenaga kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat selama melakukan pekerjaan ditempa kerja, serta melakukan pekerjaan di tempat kerja maupun sumber dan proses produksi dapat secara aman dan efisien dalam pemakaiannya.

d. Potensi Bahaya (Hazard), suatu keadaan yang memungkinkan/dapat menimbulkan kecelakaan/kerugian berupa cedera, penyakit, kerusakan/kemampuan melaksanakan fungsi yang telah ditetapkan.
e. Tingkat Bahaya (Danger) merupakan ungkapan adanya potensi bahaya secara relatif. Kondisi yang berbahaya karena telah dilakukan beberapa tindakan pencegahan.
f. Risiko (Risk) menyatakan kemungkinan terjadinya kecelakaan/kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu.
g. Insiden, ialah kejadian yang tidak diinginkan yang dapat dan telah mengadakan kontak dengan sumber energi melebihi nilai ambang batas badan atau struktur.
h. Kecelakaan, ialah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian baik korban manusia dan atau harta benda.
i. Aman/selamat. Kondisi tidak ada kemungkinan malapetaka (bebas dari bahaya)
j. Tindakan tak aman, adalah suatau pelanggaran terhadap prosedur keselamatan yang memberikan peluang terhadap terjadinya kecelakaan.
k. Keadaan tak aman, adalah suatu kondisi fisik atau keadaan yang berbahaya yang mungkin dapat langsung mengakibatkan terjadinya kecelakaan.

SEJARAH K3


SEJARAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Dalam tahun 1760 sebelum Masehi, Raja hammurabi, yang merupakan pendiri dynasti Babylonia, menyusun kumpulan undang-undang dan peraturan yang kemudian disebut Kode Hammurabi. Kode ini, telah diterima oleh raja dari dewa matahari, Shamash, yang memberikan prosedur mengenai hak-hak milik, hak perorangan, dan hutang-piutang. Ini diberikan antara lain untuk mengatur kerusakan yang disebabkan oleh pengabaian dalam
berbagai perdagangan. Sebagai contoh, ini mengatur mengenai hal berikut :
Jika seorang pembangun membangun rumah untuk seseorang dan tidak membangunnya secara tepat, kemudian rumah tersebut runtuh dan menewaskan pemiliknya, maka pembangun harus dihukum mati.
Jika pembuat kapal membuat perahu untuk seseorang dan tidak membuatnya dengan kuat, jika selama tahun yang sama perahu tersebut rusak, maka pembuat kapal harus memperbaikinya dengan biayanya sendiri. Kapal yang telah diperbaiki tersebut harus diberikan kepada pemiliknya.

Peraturan-peraturan ini tampaknya mirip dengan building codes dan OSHA standard mengenai Pekerjaan Galangan Kapal serta persyaratan Worker’s Compensation.
Hippocrates, ahli fisika Yunani yang terkenal, disebut sebagai bapak pengobatan. Sekitar tahun 400 SM dia berusaha menangani tetanus, membantu memeriksa wabah di sekitar Athena, serta memberikan panduan perawatan cidera di kepala yang disebabkan kecelakaan.
Selama awal Abad Pertengahan berbagai bahaya diidentifikasi, termasuk efek-efek paparan timbal dan mercury, kebakaran dalam ruang terbatas, serta kebutuhan alat pelindung perorangan. Namun demikian, tidak ada standard atau persyaratan keselamatan yang terorganisasi dan ditetapkan pada saat itu. Para pekerja biasanya pengrajin independen atau bagian dari toko atau pertanian keluarga dan bertanggung jawab sendiri untuk keselamatan, kesehatan dan kesejahteraannya.
Pada awal abad 18 dan pada saat terjadinya Revolusi Industri, Beardini Ramazini menulis “Discourse on Disease of Workers”. Dikenal sebagai bapak pengobatan pekerja, dia menggambarkan penyebab dari penyakit akibat kerja yang terjadi pada kimiawan yang bekerja di laboratorium. Namun demikian, perhatiannya yang besar pada kimiawan, membuatnya percaya harus ada perlindungan terhadap profesi mereka jika dia menyarankan intervensi keselamatan. Dia juga menggambarkan rasa sakit yang terjadi di tangan tukang ketik, yang mengawali pengetahuan kita mengenai cidera yang disebabkan gerakan berulang. Sebagai tambahan pada kuesioner standard sejarah pasien, dia juga menanyakan“Apa pekerjaan anda?”.
Pada akhir tahun 1700an, sistem pabrik memperkenalkan pekerja bahaya baru dan tidak diketahui. Perusahaan tekstil dijalankan dengan mesin pintal, gulungan kapas dan tumpukan benang, bersama dengan resiko yang berhubungan dengan mesin, kebisingan dan debu. Manajemen diperhadapkan dengan keuntungan dan kerugian. Kematian dan cidera diterima sebagai bagian dari bidang industri. Sekarang, mungkin rasa sakit dan kesakitan mungkin diperhatikan sebagai norma dan diterima dalam beberapa pekerjaan industri. Kemudian manajemen keselamatan dan kesehatan, tidak dipertimbangkan atau diperlukan. Buruh sangat banyak dan pekerja senang dengan hanya memperoleh pekerjaan.
Pada awal tahun 1800an, Revolusi Industri melanda Amerika Serikat, menekankan pngurangan biaya, dan tenaga kerja menjadi makin banyak dengan buruh imigran dan buruh anak-anak. Undang-undang yang umum pada saat itu menguntungkan para pengusaha dan manajer, dan nyatanya tidak ada kompensasi untuk penyakit atau cidera serta tidak ada standard yang disetujui untuk keselamatan tempat kerja. Namun demikian, ketika cidera semakin meningkat, usaha pertama terhadap kompensasi dimulai di Massachusetts dengan Employer’s Liability Law pada tahun 1887. Namun demikian pada banyak kasus, usaha kompensasi ditolak dengan berbagai alasan legal jika pengusaha dapat menunjukkan bahwa pekerja lalai atau memberikan kontribusi terhadap penyebab kecelakaan.
Abad duapuluh merupakan awal perhatian keselamatan kerja pada arena politik. Pada tahun 1908, Theodore Roosevelt mengatakan : “Jumlah kecelakaan yang menyebabkan kematian pekerja …. semakin meningkat. Dalam beberapa tahun, ini meningkat dengan cepat dengan menyebabkan kematian yang lebih besar daripada perang besar.” Ini diikuti dengan penetapan persyaratan Workers Compensation secara federal serta di seluruh negara bagian. Pada saat yang sama, standard-standard keselamatan mengenai pelindung mesin dan perusahaan baja serta rel kereta api memulai apa yang kita kenal sekarang sebagai program manajemen keselamatan kerja. Kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist yang terkenal pada tahun 1911, yang menyebabkan kematian pekerja garmen sebanyak 146 orang, membantu untuk menggabungkan usaha-usaha ini. National Safety Council dibentuk pada saat itu.
Sampai tahun 1931, sebagian besar dari usaha-usaha intervensi keselamatan dan kesehatan diarahkan langsung untuk meningkatkan kondisi pabrik. Kemudian H.W. Heinrich menerbitkan buku yang berjudul Industrial Accident Prevention. Dia mengusulkan konsep bahwa tindakan-tindakan orang lebih besar menyebabkan kecelakaan daripada kondisi tempat kerja. Dia kadang-kadang disebut sebagai Bapak Safety Modern karena dia yang pertama mengusulkan prinsip-prinsip keselamatan kerja yang terorganisasi.
Prinsip-prinsip ini revolusioner pada saat itu. Prinsip-prinsip ini mencakup konsep bahwa kecelakaan disebabkan terutama karena unsafe acts dari pekerja, dan bahwa unsafe act yang sama mungkin terjadi lebih dari 300 kali. Dia juga mengusulkan beberapa alasan mengapa orang-orang bertindak unsafe, metodologi dasar untuk mencegah kecelakaan, serta mengusulkan bahwa manajemen bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan kecelakaan kerja.

Saat Ini
Dalam tahun 1970, Occupational Safety and Health Act (OSHA) yang bersejarah disahkan dan menjadi undang-undang federal yang efektif pada tahun 1971. Ini diikuti dengan beberapa kejadian, termasuk pembaharuan pada keselamatan kendaraan dengan buku Ralph Nader yang berjudul Unsafe at Any Speed. Keselamatan dan kesehatan kerja menjadi elemen penting pada sebagian besar industri manufakturing. Standard-standard telah dimulai dan manajemen telah mengetahui bahwa keuntungan operasi secara langsung terpengaruh ketika pekerja mengalami lost time karena cidera yang disebabkan kerja.
Beberapa orang akan membantah bahwa OSHA Act mengubah perhatian manajemen dari pencegahan cidera menjadi mematuhi undang-undang. Namun demikian dengan maksud baik, regulasi pertama keselamatan kerja diadopsi dari dokumen-dokumen lain yang ditetapkan oleh standard yang dihasilkan berbagai organisasi. Dalam banyak kasus, standard-standard tersebut dimaksud untuk digunakan sebagai panduan. Tanggung jawab penerapan dari panduan keselamatan kerja diganti dengan perilaku“bagaimana kita sesuai” sampai beberapa tingkatan. Selain itu, karena undang-undang difokuskan pada kondisi tempat kerja, mungkin akan menghambat perkembangan perangkat manajemen keselamatan kerja berdasarkan intervensi perilaku. Pendekatan kondisi tempat kerja ini bertentangan dengan prinsip yang diusulkan oleh Heinrich yang mengatakan bahwa sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh tindakan manusia.
Pada beberapa kejadian, Occupational Safety and Health Act, bersama dengan partner penelitiannya,National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dan komite penasehatnya National Advisory Committee on Occupational Safety and Health (NACOSH), menciptakan perhatian baru dan era baru dalam bidang keselamatan dan kesehatan. Undang-undang yang memberikan sanksi terhadap ketidaksesuaian dengan persyaratan menyediakan tempat kerja yang bebas dari bahaya yang diketahui cenderung berorientasi pada spesifikasi dan diberikan secara terperinci apa yang perlu dilakukan. Banyak kesenangan yang dibuat sehubungan dengan persyaratan rancangan tempat duduk toilet serta ketinggian letak alat pemadam kebakaran. Peraturan yang baru telah berubah berdasarkan orientasi kinerja, yang dapat mendorong pengesahan alasan dan penerapan tanggung jawab terhadap persyaratan. Suatu contoh mengenai pendekatan ini ditemukan dalam Standard Manajemen Keselamatan Proses, yang mempersyaratkan penakaran resiko sekitar keselamatan pabrik kimia.
Sementara sebagian besar perusahaan besar telah mengikuti persyaratan OSHA Act dalam sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerjanya, perusahaan-perusahaan yang progresif telah bergerak lebih maju daripada sekedar kepatuhan. Mereka mengetahui bahwa sekedar mematuhi peraturan safety tidak cukup. Mereka mengetahui bahwa kondisi tempat kerja, yang menjadi fokus utama peraturan ini, hanya satu aspek dari program yang dikelola secara baik. Peraturan mewakili kriteria minimal dan pendekatan tingkat awal. Off-the-job safety programming oleh beberapa perusahaan mengambil pelajaran dari tempat kerja ke dalam rumah dan keluarga para pekerja.
Teknologi keselamatan dan kesehatan sebagian besar telah berkembang menjadi ilmu yang matang. Standard telah tersedia dan metodologi telah dikembangkan untuk keselamatan kerja mekanis, penakaran resiko bahaya kimia, standard keselamatan listrik, standard perlindungan kebakaran, serta standard perlengkapan pelindung perorangan. Teknologi-teknologi ini akan dibahas Bab-bab berikut. Standard sekitar ergonomi tempat kerja menjadi bidang yang berkembang secara cepat. Walaupun awal peraturan dalam bidang ini tidak sukses, sebagian besar perusahaan besar melihat keuntungan dari program ergonomi sebagai bagian dari keseluruhan usaha keselamatan dan kesehatan mereka.
Beberapa orang mungkin membantah bahwa kinerja safety aktual telah tercampur karena ditetapkannya OSHA. Statistik dari Bureau of Labor memperlihatkan bahwa tingkat cedera total yang tercatat telah menurun secara perlahan selama 20 tahun terakhir dari 13.2 cidera dan penyakit per 100 pekerja menjadi 11.6 dalam sektor manufaktur. Cidera dan penyakit yang mengakibatkan lost working time telah menurun pada periode yang sama dari 4.4 menjadi 2.9 persen. Namun demikian sangat sulit dibantah bahwa kondisi tempat kerja aktual telah meningkat secara substansial dari awal industrialisasi. Di dunia Barat, bahaya dari manufaktur berat telah berganti dengan bahaya lain yang tidak segera tampak. Sebagai contoh, perusahaan manufaktur sekarang telah mengalami peningkatan cacat kronis sehubungan dengan trauma kumulatif, penyakit kulit, dan penyakit saluran pernafasan. Beban dari cidera akut sekarang telah muncul pada industri manufakturing di negara Dunia Ketiga.
Selama waktu ini, satu dari para penulis yang produktif dalam bidang keselamatan dan kesehatan adalah Dan Petersen. Dia menulis sejumlah buku dan artikel mengenai manajemen keselamatan dan kesehatan. Dia mengembangkan teori Heinrich. Dia mengemukakan lima prinsip keselamatan pada buku Techniques of Safety Management yang diterbitkan pada tahun 1978, yang pertama adalah “Unsafe act, unsafe condition dan kecelakaan adalah gejala mengenai kesalahan dalam sistem manajemen.”Bukunya Challenge of Change: Creating a New Safety Culture pada tahun 1993, menggambarkan suatu proses untuk menciptakan perubahan dalam sistem manajemen yang mendorong kinerja keselamatan yang diinginkan
rincian sejarah K3
- PADA mula awal kehidupan manusia
- Pada tahun 1700 SM (Hammurabi)
- Pada tahun 1200 SM (Mozai)
- Pada tahun 80 M (Roma)
- Pada tahun 1400 M (Roma)
- Pada tahun 1800an (Amerika Serikat)
- Pada tahun 1931