Selasa, 26 Februari 2013

Tips & Trik Menghadapi Pengawas Ketenagakerjaan


Tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan pengawas ketenagakerjaan selama ini menjadi “momok” bagi beberapa perusahaan, karena “mereka” rutin melakukan inspeksi ketenagakerjaan. “Rasa” paling benar, paling kuasa, paling bisa menyalahkan, paling bisa memutuskan, dan paling-paling yang lain, tidak bisa lepas dari keberadaannya, dan menjadi kesan tersendiri bagi pelaku usaha.
Tentu kesan tersebut hanya berlaku bagi pelaku usaha yang –maaf— masih belum mempunyai bekal / pengetahuan yang cukup ikhwal ketentuan ketenagakerjaan serta fungsi, kewenangan dan tata cara pengawasan. Sebaliknya, bagi pelaku usaha yang telah mempunyai pemahaman atas “aturan main” yang cukup, kehadiran tim pengawas bukan merupakan persoalan serius.

I.             Dasar Hukum Pengawas Ketenagakerjaan
Dasar adanya pengawas ketenagakerjaan adalah UU No 13 Tahun 2003, Pasal 176 s/d 181. Selain UU No 13 Tahun 2003, ada beberapa ketentuan sebelum dan sesudah lahirnya UU No. 13 Tahun 2003, yang dapat dilihat di Kumpulan Ketentuan Ketenagakerjaan.

II.           Kewenangan Pengawas Ketenagakerjaan
Berbicara mengenai kewenangan (pokok) pengawas ketenagakerjaan, mari kita simak ketentuan dalam UU No 13 Tahun 2003, Pasal 182 ayat 2, bahwa kewenangan pengawas selaku pegawai penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ditentukan sebagai berikut:
a.    melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c.    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d.    melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e.    melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f.     meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g.    menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.

III.            Obyek Pengawasan
Mengenai obyek pengawasan, masing-masing daerah mempunyai ciri khas atau model yang berbeda-beda. Namun setidaknya, berikut yang –umumnya—menjadi obyek pengawasan termasuk dasar hukumnya. Namun jangan kaget, ada dokumen yang diatur pada ketentuan yang ”Jadul” banget, masih saja dijadikan obyek penelitian. Kebanyakan perusahaan nggak “NGEH” jika ada ketentuan tersebut, sehingga mereka lengah, dan hal-hal ini menjadi peluang empuk oknum petugas pengawas untuk “menjerat” bahwa perusahaan bersalah.
Ada lagi, beberapa ketentuan yang sudah dicabut dengan ketentuan yang baru, masih saja dipertahankan untuk menjadi obyek inspeksi. Jadi, pada kondisi seperti ini, perusahaan (terutama HR) harus jeli dan tetap “fight” bahwa tidak boleh obyek pengawasan pada sesuatu yang tidak up to dateDuhh… sia-sia banget kan…?
Ini dia dokumen yang biasa menjadi obyek pengawasan, berikut dasar hukumnya;
No
Dokumen
Dasar
1
Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan
UU No 7 Tahun 1981
2
Wajib Lapor Pelaksanaan Fasilitas Kesejahteraan (berlaku di DKI Jakarta)
Perda No 7 Tahun 1989
3
Daftar Upah/Gaji Karyawan Untuk 3 (tiga) Bulan Terakhir
Permen No 06/MEN/1990
4
Bukti Upah Lembur Karyawan untuk 3 (tiga) Bulan Terakhir
Kepmen No 72/MEN/1984
5
Bukti Pembayaran Iuran Program Jamsostek Bulan Terakhir
UU No 3 Tahun 1992 jo PP No 14 Tahun 1993
6
Peraturan Perusahaan
Permen No 02/MEN/1978
7
Surat Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA)
UU No 3 Tahun 1958
8
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)
 
9
Laporan Keberadaan Tenaga Kerja Asing
 
10
Daftar Keluarga Karyawan
 
11
Daftar Absensi dan Cuti Tahunan Karyawan
PP No 21 Tahun 1954
12
Akta Pendirian Perusahaan/SIUP (Surat Keterangan Domisili)
 
13
Struktur Organisasi Perusahaan
 
14
Surat Izin Kerja Malam Wanita
Stbl No 647/1925Jo Stbl No 82 /1948; Jo SK Dirjen Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja No 558 / DD.II / 72-8 / DPWPT / 72 Tanggal 17 Mei 1972
15
Surat Ijin Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat/Ijin Kerja Lembur
UU No 1 Tahun 1951 Jo PP No 4/1951, Jo Kepmen No 608/MEN/1989
16
Bukti Pemeriksaan Kesehatan Karyawan (Secara Awal maupun Berkala)
UU No 1 Tahun 1970 Jo Permen No 2/MEN/1980
17
Buku Akte Pengawasan Ketenagakerjaan
Permen No 03/MEN/1984
18
Ijin Penggunaan, Pemakaian Bejana Tekan (compressor), Ketel Uap, Pesawat Angkat/Angkut, Instalasi Penyalur Petir serta Peralatan Lainnya yang Berhubungan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Perusahaan
UU No 1 Tahun 1970
19
Surat Pengesahan Gambar Instalasi Listrik dari Kantor Depnaker
UU No 1 Tahun 1970 Jo Permen No 04/Men/1988
20
SK Pembentukan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Perusahaan (P2K3)
UU No 1 Tahun 1970 jo Permen No 04/MEN/1987
21
SK Pembentukan Serikat Pekerja di Perusahaan
UU No 21 Tahun 2000
22
AKDHK
(berlaku di DKI Jakarta)
Perda No 7 Tahun 1989 jo SK Gubernur Prop DKI Jakarta No 2 Tahun 1990

IV.              10 (Sepuluh) Tips and Trik
Beberapa tips dan trik ketika menghadapi pegawai pengawas ketenagakerjaan (wasnaker);
1.    Tetap mengakui dan menghormati bahwa wasnaker adalah pejabat negara yang kedudukannya diatur dan diakui undang-undang dan ketentuan pelaksanaannya. Karena merupakan pejabat negara gaji, tunjangan dan manfaat lain-lain dibayar oleh negara yang bersumber dari (salah satunya) pajak yang dibayarkan perusahaan dan karyawan. 
2.    Berpikir positif dengan menempatkan wasnaker sebagai partner dalam menegakkan ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku. Jangan sekali-kali memposisikan mereka dalam posisi vis a vis yang berhadap-hadapan. Namun, jika pada saat datang oknum wasnaker yang menghendaki demikian (berhadap-hadapan), apa boleh buat, bahasa jalanan, siapa jual harus dibeli, perlu dipertimbangkan untuk dipraktekkan.
3.    Jangan memaksakan diri untuk ”serta merta” menerima dan melayani wasnaker yang datang (jangan pula mengabaikan kehadirannya lho…..). Jika memang belum memungkinkan, bicarakan dan re-schedule kapan waktu yang tepat untuk pelaksanaan inspeksi agar lebih efektif.
Biasanya ”mereka” memaksa agar segala sesuatu disiapkan dan ”beres” pada saat “mereka” datang. Bahkan dengan “sedikit mengancam” jika perusahaan menghalang-halangi pelaksanaan pengawasan dianggap melakukan pidana ketenagakerjaan, dll. Jika seperti ini, sampaikan jika semua menggunakan bahasa kekuasaan, kasihan (perusahaan) yang tidak punya kuasa dong …. Artinya, tidak perlu terburu-buru menggunakan bahasa kekuasaan.
4.    Ajak tim wasnaker untuk memahami dan menyamakan visi bersama dalam pembangunan ketenagakerjaan. Bahwa kehadirannya seharusnya bisa berpartisipasi mewujudkan hubungan industrial yang damai, sejuk dan harmonis.
Jika sebelum kehadiran wasnaker, hubungan antara karyawan (atau serikat pekerja) dengan perusahaan sudah cukup baik dan harmonis, tetapi ada “perubahan” setelah kehadiran wasnaker, sehingga kondisi menjadi saling curiga, memancing keresahan dan kegelisahan karyawan dan lain-lain, maka wasnaker mempunyai tanggung jawab moral atas “perbuatan”nya. Ingat, perbuatan tersebut tidak sejalan dengan visi pembangunan ketenagakerjaan, tetapi bertentangan. Mengapa? Apa yang dilakukannya tersebut berpotensi menimbulkan masalah ketenagakerjaan baru, setidaknya dapat memancing perselisihan industrial.
5.    Perusahaan harus meyakini bahwa apa yang selama ini dilakukan adalah benar. Masa iya, ada yang bangga melakukan sesuatu yang salah. Untuk apa meyakini ini? Agar kita mati-matian (semaksimal mungkin) membela diri ketika “dipersalahkan”. Artinya jangan begitu mudah menerima “salah”. Sebaliknya, harus berani mempertahankan bahwa apa yang selama ini perusahaan lakukan adalah benar. 
6.    Bahwa wasnaker bukan-lah full power bodyBukan lembaga yang maha kuasa. Lembaga ini hanya bertugas memeriksa. Bukan mengadili. Bukan menyatakan salah atau benar. Bukan melaksanakan putusan salah atau benar. Mengapa ini perlu diketahui? Tidak sedikit, wasnaker yang mem-vonis perusahaan ”salah” atau melanggar ketentuan ketenagakerjaan, bahkan menjatuhkan sanksi, dan bahkan pula ”dia-pun” menjalankan putusan tersebut alias sebagai eksekutornya. Apakah diberikan kewenangan sejauh ini? TIDAK! Hanya memeriksa dan mengawasi, TITIK!
7.    Pahami bahwa selama melaksanakan fungsi pengawasan, pegawai wasnaker ada batasan kewenangan. Mereka juga dilarang melampaui kewenangan yang ditentukan serta dilarang menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power). Hal ini senada dengan ketentuan UU No 13 Tahun 2003, Pasal 176 b (uu-13-2003-ketenagakerjaan-penjelasan).
8.    Bahwa jangan buru-buru melaksanakan apa yang dikatakan petugas wasnaker. Jika jeli, apa yang dikatakan kadang tidak berdasar atau setidaknya tidak ada dasar yang yang jelas. Jadi yang disampaikan kadang hanya berupa wacana atau penafsiran. Pada konsisi ini, harus diyakini bahwa Opini adalah opini. Pendapat adalah pendapat. Bukan sebuah dasar hukum yang mengikat dan harus dilaksanakan. Apa yang diminta harus dibuat dalam surat tertulis, biasanya berupa nota pemeriksaan. Jika terjadi hal ini, silakan gunakan proses jawab – jinawab. Jadi, perusahaan menjawab / menanggapi apa yang dipermasalahkan pegawai wasnaker, dengan tembusan ke Ditjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Depnakertrans RI (http://www.nakertrans.go.id/unit.html,9,org).
9.    Semua mekanisme pengawasan ada tata caranya (hukum formal). Jadi, meskipun “salah” (semoga saja tidak), wasnaker tidak bisa serta merta menjatuhkan sanksi, bahkan sampai melaksanakan sanksi.
Sebagai ilustrasi, misalnya sesorang mengaku membunuh, maka seorang hakim-pun tidak bisa serta merta memenjarakan pelaku. Ada mekanisme penyidikan yang dilakukan polisi. Ada mekanisme penuntutan yang dilakukan jaksa. Ada mekanisme pemeriksaan dan memutus perkara (vonis) oleh hakim /pengadilan. Dan pelaksanaan sanksi oleh sang eksekutor. Bahkan, si pelaku yang keberatan bisa menempuh berbagai pilihan upaya hukum, bahkan sampai upaya hukum luar biasa.
Apa maksudnya? Tidak ada yang serta merta, termasuk dalam wasnaker. Jadi putusan salah tidak serta merta dilakukan pegawai wasnaker. Jadi jika perusahaan ”dipaksa” Tentu perusahaan tidak boleh tinggal diam karena ada indikasi penyalahagunaan wewenang.
10.  Jika perusahaan tidak ada sumber daya yang memadai, atau resources-nya kurang capable, silakan mempertimbangkan untuk menggunakan jasa pihak ketiga untuk menangani fungsi pemeriksaan oleh tim wasnaker. Bisa menghubungi kantor hukum atau jasa konsultasi hukum dan manajemen yang terpercaya dan dipandang mampu melaksanakan tugas tersebut. Beberapa perusahaan yang menyediakan jasa ini misalnya www.selnajaya.com. Jadi perusahaan bisa membuat surat kuasa untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan wasnaker.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar